
JURNAL INVESTIGASI 7
RISIKO deforestasi di Kalimantan dan Papua sangat berpotensi dengan adanya pengembangan pabrik pulp raksasa milik PT Phoenix Resources International di Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Hal itu dinilai dapat menimbulkan ancaman baru terhadap hutan alam di Kalimantan. Kayu yang merupakan bahan mentah utama pabrik pulp yang memproduksi dalam skala yang diproyeksikan Phoenix akan membutuhkan sekitar 3,9 juta meter kubik kayu per tahunnya.
Jumlah itu setara dengan sekitar 100.000 truk kayu setiap tahun, jika pabrik pulp beroperasi sesuai dengan rancangan kapasitas pabriknya. Permintaan kayu ini dinilai akan memberikan beban struktural kepada bentang alam di sekitarnya untuk memproduksi volume serat kayu yang memadai selama beberapa dekade ke depan.
Di Sumatera, ekspansi pengolahan pulp yang terus berlanjut sejak akhir tahun 1990-an telah mendorong deforestasi dalam skala besar. Sejak tahun 1994, total perubahan tutupan hutan di dalam konsesi APRIL dan konsesi mitra pemasok APRIL adalah 531.350 hektar. Hal itu ditunjukkan oleh Forest Stewardship Council pada pembukaan hutan yang menghasilkan kayu bulat (mix tropical hardwood) untuk pabrik pulp APRIL dan membangun kebun kayu monokultur Akasia dan Eukaliptus.
“Sudah menjadi praktik umum di industri pulp untuk membangun pabrik pulp di dekat pasokan kayu, sebab biaya pengiriman kayu adalah elemen kunci daya saing harga secara keseluruhan bagi pabrik pulp,” ungkap Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra kepada InfoIndo, pagi tadi, Sabtu 9 September 2023.
Dengan pembangunan pabrik Phoenix di Tarakan, kata Syahrul, masuk akal untuk berasumsi bahwa permintaan pabrik yang besar secara gelondongan terhadap kayu pulp akan mendorong pembersihan hutan alam dan pengembangan area-area kebun kayu monokultur baru dalam jarak komersial dari lokasi pabrik. Dengan demikian, hutan di Kalimantan Utara dan provinsi-provinsi sekitar Kalimantan, seperti Sulawesi, dan Papua, sekaligus di sisi seberang perbatasan di negara bagian Sabah, Malaysia, mungkin terancam.
“Dan hutan-hutan yang paling terancam adalah yang berada di area konsesi hutan yang sudah dikendalikan atau mereka yang memiliki kaitan dengan RGE dan pemasok jangka panjang mereka,” ujarnya.

Hutan alam yang tersisa di ketiga pemasok yang dianalisis sebelumnya yakni PT Industrial Forest Plantation, PT Adindo Hutani Lestari, dan PT Fajar Surya Swadaya hanya tersisa sekitar 100.383 hektare. Kata Syahrul, hal itu ditunjukkan menurut data Nusantara Atlas bahwa PT Tanjung Redeb Hutani di Kalimantan Timur, diharapkan memasok 35.000 meter kubik kayu untuk BCL pada tahun 2022. “Tetapi yang dilaporkan tidak mengirim apa pun,” tuturnya.
Sementara itu, perusahaan yang memiliki kaitan dengan RGE, yaitu PT Kesatuan Mas Abadi. Diungkapkan Syahrul, PT Kesatuan Mas Abadi memiliki konsesi kebun kayu di Kabupaten Teluk Bintuni di Provinsi Papua Barat yang memiliki sisa hutan alam seluas 79.548 hektar. Adapun pemegang saham PT Kesatuan Mas Abadi, sejak Februari 2023, adalah dua pabrik milik RGE di bawah kendali Apical: PT Kutai Refinery Nusantara dan PT Sari Dumai Sejati.
“PT Kesatuan Mas Abadi memiliki izin HTI untuk 99.609 hektar di selatan Teluk Bintuni, dan 80 persen areanya atau sekitar 79.548 ha memiliki hutan alam,” pungkasnya.
Dua perusahaan RGE, yakni PT Damai Setiatama Timber dan PT Mukti Artha Yoga, diterangkan Syahrul, juga memiliki Hak Pengusahaan Hutan (HPH) konsesi penebangan selektif di Kabupaten Mappi di Provinsi Papua Barat. Dari gabungan keduanya memiliki sisa hutan alam sekitar 381.233 ha.
Di bawah Undang-Undang Cipta Kerja yang diloloskan pada tahun 2020, konsesi penebangan selektif saat ini bisa diubah menjadi izin kehutanan multiusaha dan memasukkan silvikultur monokultur spesies kayu pulp. Secara keseluruhan, konsesi hutan di wilayah Kalimantan dan Papua ini memiliki 637.933 ha hutan alam, atau sepuluh kali luas wilayah DKI Jakarta.
“Wilayah ini mungkin bukan satu-satunya wilayah hutan yang terancam oleh permintaan kayu dari proyek pabrik pulp Phoenix di Kalimantan Utara. Tetapi konsesi tersebut sangat mungkin menjadi yang pertama karena kaitan perusahan-perusahaan pemilik konsesi hutan ini dengan RGE,” tutupnya. (*)